Berita

Flanatomy: Puzzle 3D Modern untuk Anak Berkebutuhan Khusus Dikenalkan di FGD

Media Pembelajaran Interaktif untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Beberapa waktu lalu, salah satu hasil project dari tim peneliti dari Universitas Dinamika (Undika) yang berkolaborasi dengan peneliti dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan berhasil meraih hibah dari DIKTI tahun 2025. Program ini masuk dalam kategori penelitian terapan dengan luaran prototipe dan produk yang telah dikembangkan berupa media pembelajaran berbasis puzzle 3D yang dipadukan dengan teknologi Augmented Reality (AR) berjudul ‘Flanatomy‘.

Flanatomy adalah sebuah media pembelajaran berbentuk puzzle 3D yang dipadukan dengan teknologi Augmented Reality (AR). Proyek ini dikhususkan untuk membantu anak dengan gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) yang seringkali mengalami kesulitan fokus dan mempertahankan perhatian dalam proses belajar.

Baca Flanatomy sebagai penerima dana hibah DIKTI 2025 di sini: 4 Penelitian & Pengabdian Dosen Undika Raih Hibah DIKTI

Sebagai kelanjutan dari project ini, tim peneliti Flanatomy menggelar acaraFocus Group Discussion (FGD) Flanatomy: Puzzle 3D Augmented Reality untuk Meningkatkan Minat Belajar Anak dengan Gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)‘. Acara ini digelar pada Rabu (10/09/2025) di Yello Hotel Surabaya, dan dihadiri sekitar 50 guru SLB dari Kota Surabaya dan sekitarnya.

Acara FGD Flanatomy bersama Guru SLB di Surabaya dan Sekitarnya
Acara FGD Flanatomy bersama Guru SLB di Surabaya dan Sekitarnya

Seminar Inspiratif Sebelum Demo Produk

Sebelum sesi diskusi dan demo produk, panitia menghadirkan tiga seminar yang tak kalah menarik dari tiga narasumber. Narasumber pertama yakni Suhartono, Sekretaris Dinas Pendidikan Jawa Timur, membuka dengan materi bertajuk ‘Kebijakan Pendidikan untuk Anak Disabilitas’. Dilanjutkan oleh Saji, seorang Pengawas Pendidikan Khusus Cabang Dinas Surabaya dan Sidoarjo yang membagikan pengalamannya terkait ‘Pembelajaran untuk Anak Disabilitas’. Sementara itu, dari Universitas Dinamika, Dhika Yuan Yurisma (Ketua Prodi S1 Desain Komunikasi Visual Undika) mengajak peserta memahami bagaimana teknologi AR bisa diintegrasikan ke media pembelajaran.

Artikel Lainnya :  Ringankan Beban Belajar Online dengan Bison

Rangkaian seminar ini disiapkan bukan tanpa alasan. Ketua tim peneliti Flanatomy, Bambang Hariadi, menjelaskan bahwa selain ingin mendengar masukan dari para guru SLB, mereka juga ingin memberikan tambahan pengetahuan dan perspektif baru kepada peserta.

“Kami mengawali acara FGD dengan seminar, agar para peserta yang datang bisa mendapatkan insight baru dari para narasumber kami,” jelasnya.

Animo Peserta yang Sangat Tinggi

Yang menarik, jumlah peserta yang hadir justru melampaui target. Hal ini menunjukkan bahwa produk inovatif seperti Flanatomy memang memantik rasa penasaran para guru SLB. Mereka ingin tahu lebih banyak tentang media pembelajaran baru yang bisa membantu anak-anak berkebutuhan khusus memahami materi dengan cara yang lebih menyenangkan.

“Kami sangat menghargai antusiasme para peserta yang sangat tinggi. Kami berterima kasih atas partisipasi para peserta yang datang,” ujar Bambang sambil tersenyum.

Para guru juga terlihat antusias saat sesi demo produk yang disampaikan oleh tiga mahasiswa DKV Undika. Mereka secara bergantian memberikan pertanyaan maupun feedback terkait karya Flanatomy tersebut.

Tidak jarang pula, para guru datang ke depan untuk melihat lebih dekat dan merasakan media pembelajaran futuristik bagi anak berkebutuhan khusus tersebut. Mulai dari mencoba puzzle, hingga mencoba teknologi augmented reality (AR) yang telah tertanam di Flanatomy.

fitur AR di flanatomy, media pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus
Peserta FGD Mencoba Fitur AR di Flanatomy

Masukan Berharga dari Guru SLB

Selama sesi diskusi di acara FGD, para guru tidak hanya memberikan apresiasi, tetapi juga masukan yang sangat detail. Salah satunya terkait penggunaan teks di puzzle Flanatomy. Menurut para guru, anak-anak SLB, khususnya yang berusia setara SMA, ternyata masih memiliki kemampuan membaca setara anak SD. Karena itu, tulisan atau label pada puzzle tidak boleh seluruhnya menggunakan huruf kapital.

Artikel Lainnya :  Tips Hindari Rokok lewat Webinar Choose Health, No Smoke Gelaran Mahasiswa DKV Undika

Selain itu, guru juga menyarankan agar warna pada puzzle disesuaikan dengan label di aplikasi. Misalnya, jika paru-paru diberi warna pink, maka labelnya juga sebaiknya menggunakan warna pink agar lebih mudah dikenali anak. Ada juga masukan agar fitur AR dilengkapi teks sehingga anak tuna rungu tetap bisa memahami konten melalui tulisan.

“Awalnya Flanatomy memang kami fokuskan untuk anak ADHD. Tapi setelah FGD ini kami sadar bahwa potensinya bisa diperluas. Masukan dari guru membuat kami ingin mengembangkan Flanatomy agar juga ramah bagi anak dengan kebutuhan khusus lainnya,” kata Bambang.

Demo Produk Flanatomy oleh 3 Mahasiswa DKV Undika
Demo Produk Flanatomy oleh 3 Mahasiswa DKV Undika

Kolaborasi Jadi Kunci Pengembangan

Menurut tim peneliti, kolaborasi dengan guru SLB sangat penting. Mereka adalah pihak yang paling tahu kondisi siswa sehari-hari. Karena itu, masukan dari guru menjadi dasar kuat agar produk benar-benar sesuai kebutuhan di lapangan.

“Dari awal kami sudah melakukan observasi dan wawancara di sekolah mitra. Lalu setelah produk jadi, kami validasi dengan ahli desain, ahli media pembelajaran, dan ahli isi. Tapi tetap saja, masukan paling konkret datang dari guru saat mereka mencoba langsung,” imbuh Bambang.

Ke depan, tim Flanatomy tidak hanya berencana menyebarkan produk di Surabaya, tetapi juga ke berbagai daerah lain di Jawa Timur. “Kami sudah menargetkan lebih dari sepuluh sekolah di berbagai daerah di Jawa Timur yang akan mencoba produk ini setelah versi revisi selesai,” jelasnya.

Artikel Lainnya :  80 Siswa SMKN 6 Surabaya Berkunjung ke Undika, Banyak Mengenal Teknologi

Acara FGD Flanatomy
Acara FGD Flanatomy

Menuju Penyebaran Lebih Luas

Tahap selanjutnya setelah FGD ini, tim Flanatomy berencana melakukan diseminasi hasil penelitian. Bentuknya bisa berupa seminar lanjutan atau roadshow ke sekolah-sekolah SLB. Tidak hanya itu, tim juga tengah mengurus perlindungan hak cipta, merek, hingga desain industri untuk Flanatomy. Langkah ini penting agar produk terlindungi secara hukum sekaligus punya peluang lebih besar untuk dikembangkan dan diproduksi massal.

Jika sesuai rencana, diseminasi akan dimulai pada November 2025. Saat itu, versi terbaru Flanatomy dengan perbaikan dari masukan FGD sudah siap diuji coba lebih luas untuk anak-anak berkebutuhan khusus. “Insyaallah bulan November kami sudah mulai bergerak. Targetnya, sebelum akhir tahun laporan penelitian selesai sekaligus ada bukti nyata bahwa produk ini sudah dipakai di sekolah-sekolah,” ungkap Bambang dengan optimis.

Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus Lebih Inklusif

Lebih jauh, tim berharap Flanatomy tidak berhenti hanya sebagai produk penelitian. Mereka ingin produk ini benar-benar bisa masuk ke sekolah-sekolah dan digunakan oleh guru maupun siswa SLB.

“Harapannya penelitian ini tidak berhenti di meja peneliti, tapi membumi di sekolah-sekolah. Anak-anak berkebutuhan khusus bisa memanfaatkan, guru terbantu, dan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus bisa lebih inklusif,” pungkas Bambang.

Dengan menggabungkan sentuhan teknologi dan kebutuhan nyata di lapangan, Flanatomy menjadi bukti bahwa inovasi bisa lahir dari kolaborasi. Dari kampus, guru, hingga praktisi, semua bersatu untuk satu tujuan, yaitu menciptakan media belajar yang lebih ramah, interaktif, dan menyenangkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Bambang Hariadi Ketua Tim Flanatomy
Bambang Hariadi, Ketua Tim Flanatomy

Artikel Terbaru